xtya

Kamis, 17 Maret 2011

. J-Rocks Biography



jrock
  • IMAN PROFILE

    Nama : Iman Taufik Rachman
    Tanggal Lahir : 19 Juli 1981
    Posisi : Vocalist and guitarist
    Prestasi individu :
    * Add guitarist tetap funky kopral.
    * Guitarist SOG.
    * Guitarist 1001.
    * Add guitarist at album “Misteri Cinta (Setiawan Jodi)�.
    * Guitarist terbaik at Expo Education.
    * Juara I Nescafe Get Started Band Competition (2004).
    • SONY PROFILE

      Nama : Sony Ismail Robbayani
      Tanggal lahir : 24 September 1982
      Posisi : Guitarist
      Prestasi Individu :
      * Best guitarist @ festival wagega Bintaro.
      * Guitar course @ LPM Farabi.
      * Juara I Nescafe Get Started Band Competition (2004).
      • WIMA PROFILE

        Nama : Swara Wima Yoga
        Tanggal lahir : 29 November 1981
        Posisi : Bassist
        Prestasi individu :
        * Juara II lomba nyanyi Jakarta Timur
        * Piano course @ Yamaha Music Indonesia
        * Guitarist La Braz with : Gatot Sunyoto
        * Juara I Nescafe Get Started Band Competition (2004).
        • ANTON PROFILE

          Nama : Anton Rudi Kelces
          Tanggal lahir : 17 Agustus 1982
          Posisi : Drummer
          Prestasi Individu :
          * Drum course @ purwacaraka.
          * Backing vocal for itatara (sony Wonder).
          * Juara Nescafe Get Started Band Competition (2004).
          IMAN sang vokalis sekaligus gitaris dan juga pencipta sebagian besar lagu-lagu di album ini, memiliki karakter vocal yang kuat, dengan tehnis dan penjiwaan yang matang, range vocalnya yang lebar memudahkannya mengambil nada2 yang rendah sampai nada2 tinggi, bahkan tehnik falseto yang tetap terjaga artikulasinya, menjadi sinergi yang kuat dengan kekuatan personel lainnya yaitu SONY (gitar), WIMA (bas) dan ANTON (Drum).
          j r
          • Sejarah J-Rock
          Sejenak Tentang Sejarah J-RocksIman adalah leader dari band ini jauh sebelum ada J-Rocks, dia pernah gabung bareng Funky Kopral (sekarang Funkop) di tahun 2001 sebagai gitaris additional tetap, dan saat di Funky Kopral Iman ketemu ama Sony yang kala itu ikutan audisi gitaris yang diadakan Funky Kopral dan ajak punya ajak Sony diajakin Iman buat bikin band aliran Jepangan, sebelumnya Iman telah bareng ma Wima yang emang mereka dah ngeband sedari SMA, dan gayung bersambut Sony pun mau gabung dengan bonus temennya Anton sebagai penggebuk drum set, karena nyari tukang nyanyi gak dapet-dapet maka ya udah lah Iman saja yang tukang nyanyi, maka jadilah sebuah band bernama J-Rockstar pada sekitaran tahun 2003.Aksi J-Rockstar pun berlanjut dengan iseng-iseng ikotan kontes musik Nescafe, dan malah jadi juwaranya, Good Job Dude!!! gak cuman itu saja Aquarius Musikindo tertarik sama mereka dan mengontrak mereka tuk bikin album akhirnya band ini kemudian dikenal dengan nama J-Rocks saja, dan album pertama mereka “Topeng Sahabat” cukup sukses di pasaran dengan hit seperti “Lepaskan Diriku”, “Ceria”, dan “Berharap kau Kembali”. Aliran seperti mereka belum ada kala itu, berarti dengan kemunculan mereka lebih memperkaya khasanah musik Indonesia, wah jadi trendsetter neh.Tentang album kedua J-Rocks “Spirit”Album kedua mereka baru saja lansir bertajuk “Spirit”, makin menegaskan bahwa bandini gak cuman numpang lewat saja, simak saja lagu “Kau Curi Lagi”, lagu ini dimainkan duet bareng Prisa, seorang cewek pendatang baru yang sebentar lagi punya album sendiri, kemudian “Cobalah Kau Mengerti” yang cukup catchy dan easy Listening banget ngepop lagi, atau “Juwita Hati” nah kalau ini lebih ngagetin karena berirama Jazz Blues, tapi yang paling bikin ngeh” adalah lagu “Tersesal”, dalam lagu ini olahan vokalnya berat banget, naik turun dengan suara Falsetto panjang dengan vibrasi di ujung nada, khas lagu Jepang dan Iman sepertinya berhasil membawakannya dengan sangat bagus, dan yang paling unik musiknya beraransemen Rock Opera, dan kebayang kan rumitnya, sederet lagu tadi mengartikan bahwa band ini memang memiliki kemampuan yang lebar, baik dalam beraliran, skill musikalitas maupun komersialitas, well bagi kalian yang belon punya albumnya langsung saja beli gak bakal rugi deh, tapi ingat jangan yang bajakan!!!Tentang musik JepangIman adalah seorang pecandu Jepang yang parah, jauh sebelum J-Rocks lahir, atau sejak SMP dia sudah punya konsep ngeband aliran Jepang, dan gak cuman itu saja lagu-lagu di album 1 dan 2 J-Rocks ternyata ada yang sudah diciptakannya di bangku SMP, maksa banget neh bocah?Menurut Iman musik Jepang tidak seperti apa yang orang pandang selama ini dia melihat musik Jepang adalah sesuatu yang sangat luas dimana banyak genre musik tercampur aduk di Jepang sono, dan hanya terpisahkan oleh soal bahasa saja selebihnya musik Jepang adalah sesuatu yang universal bukan yang itu-itu saja (macem Laruku, X-Japan, Ayumi ), makanya di album J-Rocks nuansanya gado-gado gak cuman sempit satu macem musik saja, bener juga lo Man.Tentang musik J-Rocks kedepanPada album Spirit, lagu-lagunya lebih soft daripada yang pertama disamping mungkin market lebih mudah menerima yang beginian, Iman ngaku kalo itu semua karena “lagi pengen” saja dan mungkin buat album ke 3 kelak J-Rocks bisa saja kembali ngerock abis atau bahkan ganti musik ajeb-ajeb geleng-geleng,tapi yang pasti apapun itu kesemuanya harus berasal dari semangat bermusik yang jujur.

          .Kisah Cinta Seorang Anak



          Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki,
          wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku,
          memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini
          memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain
          saja.

          Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya
          membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun
          melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya
          menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga
          Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan
          membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

          Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa
          stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu
          melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu
          menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun, Sam meninggal
          dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi
          semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya
          mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya
          pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang
          sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya
          tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar
          hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak
          kejadian itu.

          Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia
          Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat
          buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah
          sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah
          berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah
          perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi
          yang mengingatnya.

          Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti
          sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari
          betapa jahatnya perbuatan saya dulu.tiba-tiba bayangan Eric melintas
          kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric. Sore
          itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad
          dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mary, apa yang
          sebenarnya terjadi?”

          “Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal
          yang telah saya lakukan dulu.” aku menceritakannya juga dengan
          terisak-isak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah
          memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis
          saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang.
          Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari
          hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya
          tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric…

          Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada
          sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya
          mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali
          potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan
          Eric sehari-harinya. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap
          sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.
          Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala
          ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.

          “Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”

          Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal
          dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?”

          Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh tega, Tahukah kamu, 10
          tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus
          menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega,
          saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya.
          Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah,
          namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan
          yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis
          setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”

          Saya pun membaca tulisan di kertas itu…

          “Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…? Mommy marah sama
          Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji
          kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…”

          Saya menjerit histeris membaca surat itu. “Bu, tolong katakan…
          katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
          Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!”

          Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

          “Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric
          telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya
          sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan
          di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut
          apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya
          ada di dalam sana… Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari
          belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang
          lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana.”

          . Cinta ini milikmu Mama



          "Rosa, bangun.. Sarapanmu udah mama siapin di meja." Tradisi ini sudah berlangsung 26 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat tapi kebiasaan mama tak pernah berubah."Mama sayang. ga usah repot-repot ma, aku sudah dewasa." pintaku pada mama pada suatu pagi. Wajah tua itu langsung berubah.

          Pun ketika mama mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya, ingin kubalas jasa mama selama ini dengan hasil keringatku.. Raut sedih itu tak bisa disembunyikan.

          Kenapa mama mudah sekali sedih? Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami mama karena dari sebuah artikel yang kubaca, orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak. tapi entahlah.. Niatku ingin membahagiakan malah membuat mama sedih. Seperti biasa, mama tidak akan pernah mengatakan apa-apa.

          Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya "Ma, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan mama. Apa yang bikin mama sedih?" Kutatap sudut-sudut mata mama, ada genangan air mata
          di sana. Terbata-bata mama berkata, "Tiba-tiba mama merasa kalian tidak lagi membutuhkan mama. Kamu sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Mama tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kamu, mama tidak bisa lagi jajanin kamu. Semua sudah bisa kamu lakukan sendiri"

          Ah, Ya Tuhan, ternyata buat seorang Ibu, bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya.

          Diam-diam aku merenungkan. Apa yang telah kupersembahkan untuk mama dalam usiaku sekarang? Adakah mama bahagia dan bangga pada putrinya?

          Ketika itu kutanya pada mama. Mama menjawab "Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kamu berikan pada mama. Kamu tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan. Kamu berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat mama. Setelah dewasa, kamu berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat mama. Setiap kali binar mata kamu mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua."

          Lagi-lagi aku hanya bisa berucap "Ampunkan aku ya Tuhan kalau selama ini
          sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada mama. Masih banyak alasan ketika mama menginginkan sesuatu."Betapa sabarnya mamaku melalui liku-liku kehidupan..

          Mamaku seorang yang idealis, menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak
          adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun. Ah, maafin kami mama.....18 jam sehari sebagai "pekerja" seakan tak pernah membuat mama lelah..
          Sanggupkah aku ya Tuhan?

          "Rosa, bangun nak.. sarapannya udah mama siapin dimeja.. "Kali ini aku lompat segera.. kubuka pintu kamar dan kurangkul mama sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan.. "Terimakasih mama, aku beruntung sekali memiliki mama yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan mama." Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan..

          Cintaku ini milikmu, Mama. Aku masih sangat membutuhkanmu.. Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu..

          Sahabat.. tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat
          "Aku sayang padamu." Namun begitu, Tuhan menyuruh kita untuk menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang yang kita cintai..Ayo kita mulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita, Ibu..Walau mereka tak pernah meminta. Percayalah..kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia..


          "Ya Tuhan, cintailah mamaku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan mama selagi ENGKAU mengizinkan aku hidup. Dan jika saatnya nanti mama Kau panggil, terimalah dan
          jagalah ia disisiMu..Titip mamaku ya Tuhan.."

          Untuk dan oleh semua Ibu yang mencintai anak-anaknya dan semua anak yang mencintai Ibunya..

          . Beli Waktu Ayah


          Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.

          "Kok, belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya.

          Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

          Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron menjawab, "Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?"

          "Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?"

          "Ah, enggak. Pengen tahu aja."

          "Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja, Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?"

          Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.

          "Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong," katanya.

          "Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok," perintah Rudi.

          Tetapi Imron tak beranjak.

          Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, "Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?"

          "Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah."

          "Tapi, Ayah..." Kesabaran Rudi habis.

          "Ayah bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Imron.

          Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya, Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.

          Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, "Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok' kan bisa. Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih."

          "Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini."

          "Iya, iya, tapi buat apa?" tanya Rudi lembut.

          "Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau pinjam dari Ayah," kata Imron polos.

          Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.

          . Segelas susu saja



          Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa dikantongnya hanya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia sangat lapar.

          Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.

          Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.

          Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya, "berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini ?" Wanita itu menjawab:
          "Kamu tidak perlu membayar apapun". "Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kebaikan" kata wanita itu menambahkan.

          Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata :" Dari dalam hatiku aku berterima kasih pada anda."

          Bertahun-tahun kemudian, wanita muda tersebut mengalami sakit yang sangat kritis. Para dokter dikota itu sudah tidak sanggup menganganinya. Mereka akhirnya mengirimnya ke kota besar, dimana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut.

          Dr. Howard dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota asal si wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata Dr. Howard. Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumahsakit, menuju kamar si wanita tersebut. Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu.

          Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikan perhatian khusus pada kasus wanita itu.

          Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan... Wanita itu sembuh !!. Dr. Howard meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan. Dr. Howard melihatnya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.

          Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa ia tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus diangsur seumur hidupnya. Akhirnya Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi.."Telah dibayar lunas dengan segelas besar susu !!" tertanda, Dr. Howard Kelly.

          Air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa:
          "Tuhan, terima kasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh bumi melalui hati dan tangan manusia."

          . Cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun



          Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk.

          Lalu aku baca tahun "1924". Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana, "Sayangku Michael", yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah.

          etapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu. "Operator," kataku pada bagian peneragan, "Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?"

          Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, "Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada anda." Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit.

          Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, "Ada orang yang ingin berbicara dengan anda." Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, "Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!" "Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?" tanyaku. "Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada." Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.

          "Semua ini tampaknya konyol," kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, "Ya, Hannah memang tinggal bersama kami." Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. "Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut, "bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah."

          Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael." Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, "Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu." "Ya," lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. "Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,......."

          Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, ......katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda," katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, "aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael." Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, "Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?" Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, "Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini." Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu.Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini."

          "Siapakah Pak Goldstein itu?" tanyaku. Tanganku mulai gemetar. "Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar." Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, "Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan." Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, "Oh ya, dompetku hilang!" Perawat itu berkata, "Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?" Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, "Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan memberimu hadiah." "Ah tak usah," kataku. "Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini."

          Senyumnya langsung menghilang. "Kamu membaca surat ini?" "Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang." Wajahnya tiba-tiba pucat. "Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku," ia memohon. "Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda mengenalnya," kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, "Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok." Ia menggenggam tanganku, "Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu mencintainya."

          "Michael," kataku, "Ayo ikuti aku." Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan.

          "Hannah," kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. "Apakah anda tahu pria ini?" Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, "Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih ingat padaku?" Hannah gemetar, "Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!" Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. "Lihatlah," kataku. "Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah."

          Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. "Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkimpoian di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!" Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.

          Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun.

          . Cinta tak harus berwujud bunga



          Suatu hari saya dikunjungi oleh teman saya yang sudah berumah tangga, sebut saja Ika, dia bercerita :

          Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-2 saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-2 sensitif. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

          Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

          "Mengapa?", dia bertanya dengan terkejut.

          "Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan"

          Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

          Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?

          Akhirnya dia bertanya,:

          "Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?".

          Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,:

          "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati saya, saya akan merubah pikiran saya : Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati, Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?"

          Dia termenung dan akhirnya berkata,

          "Saya akan memberikan jawabannya besok."

          Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-2an tangannya dibawah sebuah gelas yang bertuliskan. ...

          "Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya... "

          Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

          "Kamu bisa mengetik di komputer namun selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor, saya harus memberikan jari-2 saya supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya."

          "Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang."

          "Kamu suka jalan-2 ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata saya untuk mengarahkanmu. "

          "Kamu selalu pegal-2 pada waktu ’teman baikmu’ datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal."

          "Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi ’aneh’. Dan harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami."

          "Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu."

          "Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-2 bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu".

          "Tetapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku." "Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari saya mencintaimu. "

          "Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu. "

          Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat cintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

          "Dan sekarang, sayangku, kamu telah selasai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri disana menunggu jawabanmu."

          "Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kau bahagia.".

          Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku.

          Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintaiku.

          Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.

          . Boneka ini untuk adikku



          Hari terakhir sebelum Natal, aku terburu-buru ke supermarket untuk membeli hadiah2 yang semula tidak direncanakan untuk dibeli. Ketika melihat orang banyak, aku mulai mengeluh: "Ini akan makan waktu selamanya, sedang masih banyak tempat yang harus kutuju" "Natal benar2 semakin menjengkelkan dari tahun ke tahun. Kuharap aku bisa berbaring, tidur, dan hanya terjaga setelahnya" Walau demikian, aku tetap berjalan menuju bagian mainan, dan di sana aku mulai mengutuki harga-harga, berpikir apakah sesudahnya semua anak akan sungguh-sungguh bermain dengan mainan yang mahal.

          Saat sedang mencari-cari, aku melihat seorang anak laki2 berusia sekitar 5 tahun, memeluk sebuah boneka. Ia terus membelai rambut boneka itu dan terlihat sangat sedih. Aku bertanya-tanya untuk siapa boneka itu. Anak itu mendekati seorang perempuan tua di dekatnya: 'Nenek, apakah engkau yakin aku tidak punya cukup uang?' Perempuan tua itu menjawab: 'Kau tahu bahwa kau tidak punya cukup uang untuk membeli boneka ini, sayang.' Kemudian Perempuan itu meminta anak itu menunggu di sana sekitar 5 menit sementara ia berkeliling ke tempat lain. Perempuan itu pergi dengan cepat. Anak laki2 itu masih menggenggam boneka itu di tangannya.

          Akhirnya, aku mendekati anak itu dan bertanya kepada siapa dia ingin memberikan boneka itu.'Ini adalah boneka yang paling disayangi adik perempuanku dan dia sangat menginginkannya pada Natal ini. Ia yakin Santa Claus akan membawa boneka ini untuknya' Aku menjawab mungkin Santa Claus akan membawa boneka untuk adiknya, dan supaya ia jangan khawatir. Tapi anak laki2 itu menjawab dengan sedih 'Tidak, Santa Claus tidak dapat membawa boneka ini ke tempat dimana adikku berada saat ini. Aku harus memberikan boneka ini kepada mama sehingga mama dapat memberikan kepadanya ketika mama sampai di sana.' Mata anak laki2 itu begitu sedih ketika mengatakan ini 'Adikku sudah pergi kepada Tuhan. Papa berkata bahwa mama juga segera pergi menghadap Tuhan, maka kukira mama dapat membawa boneka ini untuk diberikan kepada adikku.' Jantungku seakan terhenti.

          Anak laki2 itu memandangku dan berkata: 'Aku minta papa untuk memberitahu mama agar tidak pergi dulu. Aku meminta papa untuk menunggu hingga aku pulang dari supermarket.' Kemudian ia menunjukkan fotonya yang sedang tertawa. Kamudian ia berkata: 'Aku juga ingin mama membawa foto ini supaya tidak lupa padaku. Aku cinta mama dan kuharap ia tidak meninggalkan aku tapi papa berkata mama harus pergi bersama adikku.' Kemudian ia memandang dengan sedih ke boneka itu dengan diam.

          Aku meraih dompetku dengan cepat dan mengambil beberapa catatan dan berkata kepada anak itu. 'Bagaimana jika kita periksa lagi, kalau2 uangmu cukup?' 'Ok' katanya. 'Kuharap punyaku cukup.' Kutambahkan uangku pada uangnya tanpa setahunya dan kami mulai menghitung. Ternyata cukup untuk boneka itu, dan malah sisa. Anak itu berseru: 'Terima Kasih Tuhan karena memberiku cukup uang' Kemudian ia memandangku dan menambahkan: 'Kemarin sebelum tidur aku memohon kepada Tuhan untuk memastikan bahwa aku memiliki cukup uang untuk membeli boneka ini sehingga mama bisa memberikannya kepada adikku. DIA mendengarkan aku. Aku juga ingin uangku cukup untuk membeli mawar putih buat mama, tapi aku tidak berani memohon terlalu banyak kepada Tuhan. Tapi DIA memberiku cukup untuk membeli boneka dan mawar putih.' 'Kau tahu, mamaku suka mawar putih'

          Beberapa menit kemudian, neneknya kembali dan aku berlalu dengan keretaku. Kuselesaikan belanjaku dengan suasana hati yang sepenuhnya berbeda dari saat memulainya. Aku tidak dapat menghapus anak itu dari pikiranku. Kemudian aku ingat artikel di koran lokal 2 hari yang lalu,

          yang menyatakan seorang pria mengendarai truk dalam kondisi mabuk dan menghantam sebuah mobil yang berisi seorang wanita muda dan seorang gadis kecil. Gadis kecil itu meninggal seketika, dan ibunya dalam kondisi kritis. Keluarganya harus memutuskan apakah harus mencabut alat penunjang kehidupan, karena wanita itu tidak akan mampu keluar dari kondisi koma. Apakah mereka keluarga dari anak laki2 ini?

          2 hari setelah pertemuan dengan anak kecil itu, kubaca di Koran bahwa wanita muda itu meninggal dunia. Aku tak dapat menghentikan diriku dan pergi membeli seikat mawar putih dan kemudian pergi ke rumah duka tempat jenasah dari wanita muda itu diperlihatkan kepada orang2 untuk memberikan penghormatan terakhir sebelum penguburan. Wanita itu di sana, dalam peti matinya, menggenggam setangkai mawar putih yang cantik dengan foto anak laki2 dan boneka itu ditempatkan di atas dadanya. Kutinggalkan tempat itu dengan menangis, merasa hidupku telah berubah selamanya. Cinta yang dimiliki anak laki2 itu kepada ibu dan adiknya, sampai saat ini masih sulit untuk dibayangkan. Dalam sekejap mata, seorang pria mabuk mengambil semuanya dari anak itu.

          . Andai saja, kamu percaya padaku



          Sulit benar membangun kepercayaan, walau untuk hal-hal yang sederhana sekalipun. Ini kisahku dalam perjalanan tempo hari. Soal lampu rem misalnya. Jika ia menyala, pasti ada ada hambatan di depan. Maka sudah sepantasnya, si belakang mengikuti si depan karena depanlah yang tengah menjadi imam, melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi di depannya.

          Tapi karena tidak dipercayai, maka otoritas ini sering dianggap sepi. Saat itu, akulah yang mestinya paling berhak untuk mengerti bahwa di depan ada becak yang sarat muatan hendak menyeberang. Biarlah ia lewat. Kalau ia harus berhenti dan menggejot dari awal lagi, tentu merepotkan.

          Tapi keputusanku ini ternyata membuat mobil di belakang itu tidak senang. Baru saja aku menginjak rem, klaksonnya sudah menyalak galak bertubi-tubi. Tapi keputusan telah ditetapkan, dan abang becak telah mengambil jalan. Si mobil belakang ini juga telah membulatkan hati, dia memilih menyalipku daripada ikut berhenti. Maka yang terjadi terjadilah.

          Ia begitu terkejut, hampir mati ketika becak itu muncul begitu saja di moncong mobilnya. Ia menginjak rem hingga berdecit. Tabrakan keras memang tidak terjadi tapi sekedar ciuman bumper pun telah membuat sang becak terguling. Muatan sayuran yang menggunung berhamburan memenuhi jalan. Kecelakaan itu tidak mengerikan,tetapi sayuran yang bertebaran benar-benar telah menjadi provokasi tersendiri.

          Jalanan macet seketika. Si penyalip mobilku pucat pasi. Ia seorang pria, tampak terpelajar; tapi saat itu ia berubah menjadi orang yang kelihatan bodoh. Posisi mobilnya secara mencolok memperlihatkan bahwa dialah biang keladi kemacetan ini. Semua pihak kini menudingnya. Dan abang becak yang terkapar itu, entah belajar teori drama dari mana, mulai membangun sensasi. Ia membiarkan saja becaknya terjungkal. Ia sendiri dengan ketenangan seorang jagoan, memilih bangkit dan berjalan menghampiri si pria pengemudi dan langsung meninjunya.

          Cerita selanjutnya bukan urusanku lagi. Tapi tak sulit merekonstruksi akhir insiden ini. Betapa tidak enak membayangkan perasaan pengemudi mobil tadi. Seorang yang tampak terpelajar, bertampang bersih, tapi cuma jadi bahan olok-olok lingkungan dan dipukuli seperti kriminal. Padahal, jika saja ia mau sedikit bersabar, dan terpenting, mau mempercayaiku untuk ikut berhenti, musibah ini mungkin tidak akan terjadi.

          Seperti itulah keadaan di negeriku, orang lain tak pernah dibiarkan menjadi imam, walau ia memang tengah memegang otoritas yang sesungguhnya. Selalu saja ada intervensi.

          Inilah mengapa kita selalu cenderung membunyikan klakson di saat kita dalam kemacetan. Mengapa dalam hal antri, leher kita cenderung terjulur demikian panjang untuk selalu gatal melihat keadaan di depan.

          Kita selalu ingin tergesa-gesa, tidak punya kesabaran sedikitpun. Padahal di depan itu sering tidak terjadi apa-apa. Kemacetan itu masih baik-baik saja. Sekeras apapun klakson yang kita bunyikan, tidak akan mengubah situasi jika saatnya belum tiba. Pada gilirannya, antrian pun pasti akan bergerak maju dengan caranya sendiri. Jika semuanya masih terhenti, pasti karena masih ada persoalan. Biarlah itu persoalan yang di depan. Kita di belakang, tinggal mempercayainya.

          Berat memang, tapi inilah ongkos hidup bersama. Harus ada semacam tebusan sebagai ongkos kepercayaan. Ketidaksabaran membayar ongkos inilah yang membuat hidup bermasyarakat sering dilanda kekacauan. Para imam, pemimpin, dan pihak yang di depan itu, memang bisa saja menyelewengkan kepercayaan. Kita boleh kecewa tapi tak perlu mendendam. Karena untuk hidup bersama, manusia memang perlu saling mempercayai. Soal bahwa sesekali kita tertipu, tidak usah diherankan pula. Siapa yang sama sekali bisa membebaskan diri dari nasib sial Rasanya tak ada.

          Maka andai saja saat itu engkau percaya padaku, engkau pasti tidak dipermalukan sedemikian rupa.

          —– Original Message —–

          From: Aryadi Noersaid
          Sekedar berbagi cerita di forum orang orang super dalam keindahan hari
          ini :
          Siang ini February 6, 2008, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia
          super. Mereka mahluk mahluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat.
          Tepatnya diatas jembatan penyeberangan setia budi, dua sosok kecil
          berumur kira-kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong
          plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya
          tissue diujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya
          hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas
          dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan “Terima kasih Oom !”. Saya
          masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit
          senyum seraya mengangguk kearah mereka.
          Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan, menyapa
          seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang
          penuh keceriaan, laki- laki itupun menolak dengan gaya yang sama
          dengan saya, lagi lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih
          dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan
          mereka tetap teronggok disudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta
          . Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, duapertiga
          terisi tissue putih berbalut plastik transparan.
          Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati
          mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum diwajah
          mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang
          manggayut langit Jakarta .
          “Terima kasih ya mbak…semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas
          mereka, tak lama siwanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang
          sejumlah sepuluh ribu rupiah.
          “Maaf, nggak ada kembaliannya.. ada uang pas nggak mbak ?” mereka
          menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan
          sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah
          mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.
          “Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan ?” suaranya
          mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit
          terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa
          kembalian food court sebesar empat ribu rupiah.
          “Nggak punya, tukas saya !” lalu tak lama siwanita berkata “Ambil saja
          kembaliannya, dik !” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya
          kearah ujung sebelah timur.
          Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya
          dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya
          yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk
          memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah
          berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, nggak apa-apa ambil saja
          !”, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak,
          cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !”
          Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi
          meninggalkannya.
          Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu digenggaman saya
          tentu bukan sepenuhnya milik saya. mereka menghampiri saya dan berujar
          ” Om , bisa tunggu ya, saya kebawah dulu untuk tukar uang ketukang
          ojek !”.
          “Eeeh… nggak usah.. nggak usah.. biar aja.. nih !” saya kasih uang itu
          ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari kebawah jembatan
          menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.
          Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya
          , “Nanti dulu Om , biar ditukar dulu.. sebentar “
          “Nggak apa-apa, itu buat kalian” Lanjut saya.
          “Jangan.. jangan Om , itu uang om sama mbak yang tadi juga” anak itu
          bersikeras.
          “Sudah.. saya Ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas ! saya berusaha
          membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari keujung
          jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat, secepat
          kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari kearah saya.
          “Ini deh om, kalau kelamaan, maaf..” ia memberi saya delapan pack tissue.
          “Buat apa ?” saya terbengong.
          “Habis teman saya lama sih Om , maaf, tukar pakai tissue aja dulu”
          walau dikembalikan ia tetap menolak.
          Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya
          kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya.
          Beberapa saat saya mematung di sana , sampai si kecil telah kembali
          dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari
          tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.
          “Terima kasih Om , !”.. mereka kembali keujung jembatan sambil sayup
          sayup terdengar percakapan “Duit mbak tadi gimana ..?” suara kecil
          yang lain menyahut “lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar
          kita kasihin…….” percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak
          dan kembali kekantor dengan seribu perasaan.
          Tuhan……Hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan
          kepribadian mereka menaklukkan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka
          berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka
          tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta
          dengan berdagang Tissue. Dua anak kecil yang bahkan belum baligh,
          memiliki kemuliaan diumur mereka yang begitu belia.
          YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO
          Engkau hanya semulia yang kau kerjakan.
          MT
          Saya membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun
          berkurang rizki kita meski dalam rizki itu sebetulnya ada milik orang
          lain.
          “Usia memang tidak menjamin kita menjadi Bijaksana, kitalah yang
          memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak”
          Semoga pengalaman nyata ini mampu menggugah saya dan teman lainnya
          untuk lebih SUPER.
          Aryadi N SM 0304
          QHSE Manager I BHM Corp I 0817 149369 I Oil and Gas
          ——————————————————————————————